Birokratisasi Desa Bebani Keuangan Negara


Pada 28 November 2008, kepala desa yang bergabung dalam Persatuan Rakyat Desa Nusantara (Parade Nusantara) menuntut DPR memasukkan 10 persen anggaran untuk desa dalam APBN. Pada 4 Maret 2009, perangkat desa yang berdemo di Senayan menuntut diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Menurut penjelasan pasal 202 ayat (3) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, hanya sekretaris desa yang dapat diangkat menjadi PNS. Dua tuntutan itu sejatinya berawal dari ketidakjelasan konsepsi pemerintah pusat mengenai masa depan Indonesia.

Pengakuan v Pemberian

Sejak kemerdekaan, desa diakui sebagai satuan masyarakat khusus oleh negara. Demikian banyak dan kompleksnya satuan masyarakat khusus tersebut, negara tidak mungkin mengatur desa secara seragam pada tingkat nasional.

Dengan kata lain, otonomi desa diakui oleh negara dengan berbagai kekhususannya. Desa jadi satuan masyarakat yang mandiri dengan segala nilai, sistem, dan strukturnya. Otonomi desa adalah otonomi yang diakui oleh negara, bukan diberikan.

Konsepsi otonomi pengakuan itu tidak lagi dapat dipertahankan. Secara sosiologis, konsep desa sebagai satuan masyarakat khusus mengalami pencairan nilai karena dampak industrialisasi dan globalisasi. Meskipun secara fisik nilai dan sistem masyarakat desa masih ada, secara filosofis telah mengalami pelenturan-pelenturan nilai.

Di benak penyelenggara desa telah terjadi perubahan nilai, dari sosial ke ekonomi. Di beberapa daerah, bahkan nilai dan sistem desa sudah sulit ditemukan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa masih banyak desa di Indonesia yang memiliki nilai dan sistem tersebut.

Secara yuridis, pergeseran dari otonomi desa yang diakui ke yang diberikan dapat dilihat dari berbagai ketentuan perundang-undangan. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat sejumlah pasal yang secara eksplisit mengarahkan pada formalisasi dan birokratisasi desa. Itu mengakibatkan perubahan dari otonomi pengakuan ke otonomi pemberian.

Pasal 202 ayat 3 yang menyebutkan bahwa sekretaris desa diisi oleh PNS yang memenuhi persyaratan jelas mendorong birokratisasi desa. Penjelasan pasal 202 menambah rumit konsep otonomi desa. Sebab, sekretaris desa yang belum berstatus PNS dapat diangkat menjadi PNS. Pasal tersebut memiliki konsepsi tentang desa yang bersifat seragam secara nasional.

Pasal lain yang mengubah konsep desa yang diakui adalah pasal 106 huruf c. Pasal itu menyebutkan bahwa kewenangan desa mencakup kewenangan tugas pembantuan yang diserahkan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

Dalam sistem pemerintahan daerah, tugas pembantuan hanya diberikan kepada daerah otonom, yaitu provinsi dan kabupaten/kota. Memberikan kewenangan tugas pembantuan kepada desa secara tidak langsung memberikan otonomi kepada desa.

Berbagai peraturan lain juga mendukung proses formalisasi dan birokratisasi desa, seperti pengelolaan keuangan yang bersifat accrual basis. Kian kompleksnya pengelolaan keuangan desa, sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, telah mengakibatkan manajemen pemerintahan desa tidak lagi didasarkan pada kekhususan desa. Juga, kewajiban desa membuat sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran yang sangat formal serta terintegrasi dengan rencana dan pembangunan kabupaten/kota telah mengakibatkan formalisasi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Quo Vadis Desa?

Kejelasan konsep pengembangan desa di masa mendatang sangat dibutuhkan untuk pengaturan otonomi desa. Hal tersebut diperlukan buat menjawab tuntutan kepala desa atas 10 persen dana bantuan desa dalam APBN, juga tuntutan perangkat desa agar diangkat menjadi PNS. Tuntutan formalisasi dan birokratisasi itu akan terus berlanjut, mengingat sistem budaya masyarakat Indonesia yang masih menggangap penting status PNS.

Lebih dari itu, krisis ekonomi yang sedang melanda masyarakat saat ini bakal menjadi alasan utama perangkat desa untuk menjadi PNS. Pilihan pemerintah jadi kian sulit karena pengangkatan sekretaris desa akan menimbulkan efek domino, berupa tuntutan serupa oleh perangkat desa lain. Jika tidak dipenuhi, bisa saja hal itu mengakibatkan kekacauan dalam penyelenggaraan desa.

Tuntutan formalisasi dan birokratisasi tersebut harus dijawab dengan kejelasan konsep dan filosofi pengembangan desa. Dalam pandangan saya, secara mendasar otonomi desa harus kembali ditempatkan pada otonomi pengakuan, bukan pemberian.

Ada beberapa alasan atas pilihan itu. Pertama, melakukan birokratisasi dan formalisasi desa bakal mengakibatkan pembengkakan keuangan negara. Jika saat ini terdapat kurang lebih 66.000 desa, bisa dibayangkan biaya yang dibutuhkan untuk memberikan gaji, tunjangan, serta pensiun PNS sekretaris dan perangkat desa. Itu belum termasuk tuntutan pengangkatan kepala desa menjadi PNS. Bagi sistem kepegawaian negara, hal tersebut akan mempersulit perbaikan kualitas PNS.

Kedua, birokratisasi desa bakal menghilangkan kearifan lokal yang telah tumbuh dan berakar dalam masyarakat jauh sebelum republik ini terbentuk. Nilai-nilai kearifan itu jelas merupakan modal sosial dalam pembangunan.

Tidak ada komentar: