KEGIATAN 17-AN DESA PAKUNCEN

PEMDES PAKUNCEN






PERANGKAT DESA JANGAN HANYA MENUNTUT JADI PNS
03-Feb-2010

Sejumlah Anggota Komisi II DPR meminta supaya perangkat desa tidak hanya menuntut untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal itu terungkap saat Komisi II menerima sejumlah perwakilan perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), Rabu (3/2).
Dalam tuntutan yang dikemukakan ke Komisi II, perangkat desa yang datang dari berbagai daerah di Indonesia itu meminta supaya diangkat menjadi PNS. Menurut mereka dengan diangkat menjadi PNS maka ada kepastian status.
“Perangkat desa jangan terlalu menuntut untuk menjadi PNS. Itu tuntutan yang sangat kecil sekali,” kata Anggota Komisi II dari F-PG Basuki Tjahaya Purnama.
Menurutnya, perangkat desa mempunyai peranan yang cukup besar dalam dunia politik lokal. “Perangkat desa langsung berhadapan dengan masyarakat,” ujarnya.
Basuki menilai salah satu hal penting yang harus diperhatikan dari perangkat desa adalah masalah kesejahteraan. Selama ini kesejahteraan perangkat desa memang masih jauh dari layak.
“Yang bisa kita angkat (jadi PNS), ya kita angkat. Untuk yang belum, bagaimana kita memikirkan kesejahteraannya,” katanya.
Hal senada diungkap Djufri (F-PD) yang menilai sangat berat untuk mengangkat seluruh perangkat desa menjadi PNS. Apalagi sampai saat ini masih banyak tenaga honorer yang belum kunjung diangkat menajdi PNS.
“Tapi ada langkah-langkah dari kita untuk lebih mensejahterakan perangkat desa,” katanya.

Anggaran
Sementara itu Gamari Sutrisno (F-PKS) dalam pertemuan itu mengingatkan supaya semua pihak terkait melakukan koordinasi karena pengangkatan perangkat desa menjadi PNS berkaitan dengan anggaran.
“Keinginan untuk menjadi PNS kami hargai, tapi harus melihat kondisi keuangan negara,” katanya.
Dihadapan sekitar tiga puluh orang perwakilan PPDI yang hadir diruang rapat yang dipimpin Ketua Komisi II Burhanuddin Napitupulu (F-PG), Gamari menyatakan bahwa Komisi II siap memperjuangkan kesejahteraan perangkat desa. “Yang akan kami perjuangkan bagaimana perangkat desa mendapat kesejahteraan,” ujarnya.
Lebih jauh, Gamari menegaskan supaya perangkat desa tetap memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sementara itu juru bicara PPDI Ubaidi Rosidi yang berasal dari Tegal Jawa Tengah menjelaskan bahwa saat ini perangkat desa memerlukan kejelasan status. “Walaupun di gaji satu juta, tapi status sangat penting bagi kami,” katanya.
Dihadapan Komisi II, Ubaidi menyadari bahwa tidak semua perangkat desa dapat diangakat menjadi PNS. Faktor usia dan jenjang pendidikan menjadi salah satu ganjalan.
“Faktor pendidikan dan usia menjadi pertimbangan,” ujarnya.
Meskipun menyadari faktor-faktor pertimbangan tersebut, Ubaidi menyatakan tetap meminta supaya pernagkat desa dapat diangkat menjadi abdi negara. “Kami minta diangkat menjadi PNS,” tegasnya.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa sejak tahun 1990, perangkat desa dijanjikan tentang kesejahteraan, namun hingga bertemu Komisi II, janji itu belum terwujud. (bs)foto:agung/parle/DS

Tuntutan Perangkat Desa Jadi PNS, Masukan untuk RUU Pemerintahan Desa



Rabu, 04 Maret 2009
Tuntutan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) akan menjadi masukan dalam penyusunan RUU tentang Pemerintahan Desa dan revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang saat ini sedang dalam tahap perumusan di Depdagri untuk segera diusulkan ke DPR dalam waktu dekat.

Untuk itu Mendagri minta agar PPDI menyiapkan rumusan yang lebih konkret terkait dengan permasalahan perangkat desa. ”Kalau tuntutan untuk menjadi PNS, saya tidak bisa berjanji, karena hal itu harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Menpan, BKN, dan Menteri Keuangan,” ujar Mardiyanto yang didampingi Sekretaris kementerian Negara PAN Tasdik Kinanto, dan Dirjen PMD, Depdagri, Ayip Muflich, ketika menerima perwakilan PPDI di Kementerian Negara PAN, Rabu (4/3).
Dalam kesempatan itu, Ketua Umum PPDI, Ubaidi Rosyidi mengemukakan agar Pemerintah melakukan revisi terbatas terhadap UU No. 32/2004. Untuk pasal 202 ayat 3, diusulkan agar Sekdes dan perangkat desa lainnya diangkat menjadi PNS, dari sebelumnya berbunyi Sekdes dan perangkat desa diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan.
Diusulkan juga agar perangkat desa juga diberikan pensiun. Selain itu, PPDI juga mengusulkan agar masa jabatan Kepala Desa ditetapkan 10 tahun, dan tidak dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Pada hari Rabu (4/3) PPDI bermaksud melakukan audiensi di Istana Presiden, Gedung DPR, dan Depdagri. Namun, Mendgari yang juga mantan Gubernur Jawa Tengah itu berkenan menerima perwakilan PPDI untuk berdialog di Kementerian Negara PAN. Sementara ribuan anggota PPDI lainnya stand by di Masjid Istiqlal, Jakarta, untuk menunggu instruksi dan hasil dialog tersebut.
Pada awal sambutannya, Mendagri mengungkapkan, terkait dengan pengangkatan Sekdes menjadi PNS, ternyata juga ada sebagian yang protes, terutama dari Desa yang ’bondo’ (kekayaan) desanya besar, sehingga gajinya sebagai PNS dinilai terlalu kecil.
Hal lain, dalam pengangkatan Sekdes juga dipertimbangkan masalah usia. Jangan sampai setahun diangkat lantas pensiun. Bahkan di Temanggung, ujar Mardiyanto, ada seorang mantan Sekdes yang usianya sudah 100 tahun masih sering jalan-jalan ke Kabupaten. Berarti pensiun lebih lama daripada masa bhaktinya. ”Hal seperti ini jangan sampai terjadi,” sergahnya.
Dijelaskan, dalam tahun ini Depdagri sedang melakukan pembahasan revisi UU No. 32/2004, sekaligus mempersiapkan RUU tentang Pemerintahan Desa. ”Dengan demikian, usulan mengenai perangkat desa ini nantinya bisa dimasukkan ke dalam RUU tentang Perangkat Desa,” tambah Mardiyanto. Diharapkan, pembahasan RUU tersebut bisa dituntaskan dalam tahun ini, sebelum masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu habis.
Disadarinya, berdasarkan UU No. 32/2004, APBN hanya berhenti di tingkat Kabupaten/Kota, sehingga untuk Desa tidak ada lagi. Tidak ada APBN yang langsung masuk ke Desa, sehingga kalau ada kepentingan Desa harus masuk ke APBD Kabupaten terlebih dahulu.
Mendagri juga menyinggung perlunya pengaturan yang jelas, siapa saja dan berapa jumlah perangkat desa itu sendiri. Kalau seluruh perangkat desa diangkat menjadi PNS, jumlahnya tentu sangat banyak, karena jumlah desa di Indonesia ada 60 ribu lebih. ”Tolong saya dibantu untuk merumuskannya dalam rangka perbaikan UU No. 32 itu,” ucapnya.
Dalam hal ini, timbul pertanyaan, apakah mereka semua harus menjadi PNS ? Sebab kalau tuntutannya lebih pada peningkatan kesejahteraan, mungkin juga bisa dilakukan dengan cara lain. Misalnya dengan menambah alokasi dana desa (ADD). Bisa juga diambilkan dari kekayaan desa. Sebab banyak desa yang kekayaan desanya masih besar, yang bisa dikelola dengan baik untuk menambah kesejahteraan perangkat desa. ”Jangan dihilangkan,” sergah Mendagri lagi.
Belum lama ini Mendagri juga mengeluarkan peraturan menangani pasar desa, yang kalau dikelola dengan baik bisa menjadi aset bagi desa untuk peningkatan perekonomian desa. Perlu juga dipertimbangkan, kemungkinan pemerintah kabupaten mengalokasikan dana khusus untuk peningkatan kesejahteraan perangkat desa.
Dalam kesempatan itu, beberapa perwakilan perangkat desa, khususnya dari beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah menyampaikan bahwa perangkat desa selain Kades dan Sekdes, jumlahnya antara 6 – 11 orang. Mereka mendapatkan tunjangan mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 1,5 juta per bulan, yang dibagikan per tiga bulan.
Secara umum, perwakilan perangkat desa ini merasa penghasilannya masih jauh dari cukup, dan mereka juga tidak memperoleh fasilitas-fasilitas lain. Padahal, merekalah aparatur negara yang berada di garda paling depan, yang langsung berhadapan dengan masyarakat. (HUMAS MENPAN)


Tasdik Kinanto : Harus Dibahas Komprehensif
Sekretaris Kementerian Negara PAN, Tasdik Kinanto mengatakan, persoalan perangkat desa merupakan masalah mendasar, yang harus diselesaikan secara komprehensif, sehingga tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
”Karena itu, saya berharap jangan diburu-buru, agar kita bisa menyelesaikan itu secara komprehensif. Kita lelah membuat kebijakan yang diburu-buru untuk kepentingan-kepentingan sesaat,” ujar Sekretaris Kementerian Negara PAN, tasdik Kinanto menjawab wartawan usai mendampingi Mendagri Mardiyanto menerima Pengurus Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) di Kementerian Negara PAN, Rabu (4/3).
Dikatakan, mengenai tuntutan perangkat desa yang minta diangkat menjadi PNS, pada prinsipnya Kementerian PAN juga akan memperhatikan, sejauh tuntutan itu bisa direalisasikan.
Namun menurut Tasdik, masalah mendasar mengenai perangkat desa adalah bagaimana sebenarnya konsepsi mengenai pemerintahan desa itu sendiri. Kalau sudah mempunyai konsep yang sama mengenai pemerintahan desa ke depan, termasuk perangkat-perangkat desanya, baru bisa diselesaikan satu per satu. Tentu saja tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI 1945 serta undang-undang lainnya.
Saat ini, berdasarkan UU No. 32/2004, pemerintahan desa merupakan pemerintahan yang otonom, sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masing-masing daerah. Berarti perangkat desa merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten yang berdasarkan undang-undang tersebut bersifat otonom, yang di masing-masing daerah punya karakteristik berbeda satu sama lain. ”Amanat undang-undang dasar ini harus kita perhatikan. Kalau konsep ke depan sudah jelas, soal perangkat desa harus PNS itu, sebenarnya bisa disikapi dengan baik,” tambahnya.
Saat ini, seperti diakui Mendagri Mardiyanto, Undang-undang Pemerintahan Daerah sedang dalam proses revisi, dan rencananya dipecah menjadi UU Pilkada, UU Pemerintahan Desa, serta UU Pemerintahan Daerah itu sendiri. Untuk pembahasan RUU Pemerintahan Desa akan mulai dibahas tanggal 11 Maret mendatang.
Untuk itu, Tasdik Kinanto sependapat dengan Mendagri, agar tuntutan PPDI itu diadopsi sebagai masukan dalam pembahasan RUU Pemerintahan Desa. Sesmen PAN juga sependapat bahwa kesejahteraan perangkat desa perlu ditingkatkan. (HUMAS MENPAN)

TUNTUTAN PERANGKAT DESA PNS, MASUKAN BARU UNTUK RUU

Tuntutan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) akan menjadi masukan dalam penyusunan RUU tentang Pemerintahan Desa dan revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang saat ini sedang dalam tahap perumusan di Depdagri untuk segera diusulkan ke DPR dalam waktu dekat.
Untuk itu Mendagri minta agar PPDI menyiapkan rumusan yang lebih konkret terkait dengan permasalahan perangkat desa. ”Kalau tuntutan untuk menjadi PNS, saya tidak bisa berjanji, karena hal itu harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Menpan, BKN, dan Menteri Keuangan,” ujar Mardiyanto yang didampingi Sekretaris kementerian Negara PAN Tasdik Kinanto, dan Dirjen PMD, Depdagri, Ayip Muflich, ketika menerima perwakilan PPDI di Kementerian Negara PAN, Rabu (4/3).
Dalam kesempatan itu, Ketua Umum PPDI, Ubaidi Rosyidi mengemukakan agar Pemerintah melakukan revisi terbatas terhadap UU No. 32/2004. Untuk pasal 202 ayat 3, diusulkan agar Sekdes dan perangkat desa lainnya diangkat menjadi PNS, dari sebelumnya berbunyi Sekdes dan perangkat desa diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan.
Diusulkan juga agar perangkat desa juga diberikan pensiun. Selain itu, PPDI juga mengusulkan agar masa jabatan Kepala Desa ditetapkan 10 tahun, dan tidak dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Pada hari Rabu (4/3) PPDI bermaksud melakukan audiensi di Istana Presiden, Gedung DPR, dan Depdagri. Namun, Mendgari yang juga mantan Gubernur Jawa Tengah itu berkenan menerima perwakilan PPDI untuk berdialog di Kementerian Negara PAN. Sementara ribuan anggota PPDI lainnya stand by di Masjid Istiqlal, Jakarta, untuk menunggu instruksi dan hasil dialog tersebut.
Pada awal sambutannya, Mendagri mengungkapkan, terkait dengan Pengang-katan Sekdes menjadi PNS, ternyata juga ada sebagian yang protes, terutama dari Desa yang 'bondo' (kekayaan) desanya besar, sehingga gajinya sebagai PNS dinilai terlalu kecil.
Hal lain, dalam pengangkatan Sekdes juga dipertimbangkan masalah usia. Jangan sampai setahun diangkat lantas pensiun. Bahkan di Temanggung, ujar Mardiyanto, ada seorang mantan Sekdes yang usianya sudah 100 tahun masih sering jalan-jalan ke Kabupaten. Berarti pensiun lebih lama daripada masa bhaktinya. ”Hal seperti ini jangan sampai terjadi,” sergahnya.
Dijelaskan, dalam tahun ini Depdagri sedang melakukan pembahasan revisi UU No. 32/2004, sekaligus mempersiapkan RUU tentang Pemerintahan Desa. ”Dengan demikian, usulan mengenai perangkat desa ini nantinya bisa dimasukkan ke dalam RUU tentang Perangkat Desa,” tambah Mardiyanto. Diharapkan, pembahasan RUU tersebut bisa dituntaskan dalam tahun ini, sebelum masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu habis.
Disadarinya, berdasarkan UU No. 32/2004, APBN hanya berhenti di tingkat Kabupaten/Kota, sehingga untuk Desa tidak ada lagi. Tidak ada APBN yang langsung masuk ke Desa, sehingga kalau ada kepentingan Desa harus masuk ke APBD Kabupaten terlebih dahulu.
Mendagri juga menyinggung perlunya pengaturan yang jelas, siapa saja dan berapa jumlah perangkat desa itu sendiri. Kalau seluruh perangkat desa diangkat menjadi PNS, jumlahnya tentu sangat banyak, karena jumlah desa di Indonesia ada 60 ribu lebih. ”Tolong saya dibantu untuk merumuskannya dalam rangka perbaikan UU No. 32 itu,” ucapnya.
Dalam hal ini, timbul pertanyaan, apakah mereka semua harus menjadi PNS? Sebab kalau tuntutannya lebih pada peningkatan kesejahteraan, mungkin juga bisa dilakukan dengan cara lain. Misalnya dengan menambah alokasi dana desa (ADD). Bisa juga diambilkan dari kekayaan desa. Sebab banyak desa yang kekayaan desanya masih besar, yang bisa dikelola dengan baik untuk menambah kesejahteraan perangkat desa. ”Jangan dihilangkan,” sergah Mendagri lagi.
Belum lama ini Mendagri juga mengeluarkan peraturan menangani pasar desa, yang kalau dikelola dengan baik bisa menjadi aset bagi desa untuk peningkatan perekonomian desa. Perlu juga dipertimbangkan, kemungkinan pemerintah kabupaten mengalokasikan dana khusus untuk peningkatan kesejahteraan perangkat desa.
Dalam kesempatan itu, beberapa perwakilan perangkat desa, khususnya dari beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah menyampaikan bahwa perangkat desa selain Kades dan Sekdes, jumlahnya antara 6 – 11 orang. Mereka mendapatkan tunjangan mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 1,5 juta per bulan, yang dibagikan per tiga bulan.
Secara umum, perwakilan perangkat desa ini merasa penghasilannya masih jauh dari cukup, dan mereka juga tidak memperoleh fasilitas-fasilitas lain. Padahal, merekalah Aparatur Negara yang berada di garda paling depan, yang langsung berhadapan dengan masyarakat. (Dikutip dari HUMAS MENPAN)

Birokratisasi Desa Bebani Keuangan Negara


Pada 28 November 2008, kepala desa yang bergabung dalam Persatuan Rakyat Desa Nusantara (Parade Nusantara) menuntut DPR memasukkan 10 persen anggaran untuk desa dalam APBN. Pada 4 Maret 2009, perangkat desa yang berdemo di Senayan menuntut diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Menurut penjelasan pasal 202 ayat (3) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, hanya sekretaris desa yang dapat diangkat menjadi PNS. Dua tuntutan itu sejatinya berawal dari ketidakjelasan konsepsi pemerintah pusat mengenai masa depan Indonesia.

Pengakuan v Pemberian

Sejak kemerdekaan, desa diakui sebagai satuan masyarakat khusus oleh negara. Demikian banyak dan kompleksnya satuan masyarakat khusus tersebut, negara tidak mungkin mengatur desa secara seragam pada tingkat nasional.

Dengan kata lain, otonomi desa diakui oleh negara dengan berbagai kekhususannya. Desa jadi satuan masyarakat yang mandiri dengan segala nilai, sistem, dan strukturnya. Otonomi desa adalah otonomi yang diakui oleh negara, bukan diberikan.

Konsepsi otonomi pengakuan itu tidak lagi dapat dipertahankan. Secara sosiologis, konsep desa sebagai satuan masyarakat khusus mengalami pencairan nilai karena dampak industrialisasi dan globalisasi. Meskipun secara fisik nilai dan sistem masyarakat desa masih ada, secara filosofis telah mengalami pelenturan-pelenturan nilai.

Di benak penyelenggara desa telah terjadi perubahan nilai, dari sosial ke ekonomi. Di beberapa daerah, bahkan nilai dan sistem desa sudah sulit ditemukan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa masih banyak desa di Indonesia yang memiliki nilai dan sistem tersebut.

Secara yuridis, pergeseran dari otonomi desa yang diakui ke yang diberikan dapat dilihat dari berbagai ketentuan perundang-undangan. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat sejumlah pasal yang secara eksplisit mengarahkan pada formalisasi dan birokratisasi desa. Itu mengakibatkan perubahan dari otonomi pengakuan ke otonomi pemberian.

Pasal 202 ayat 3 yang menyebutkan bahwa sekretaris desa diisi oleh PNS yang memenuhi persyaratan jelas mendorong birokratisasi desa. Penjelasan pasal 202 menambah rumit konsep otonomi desa. Sebab, sekretaris desa yang belum berstatus PNS dapat diangkat menjadi PNS. Pasal tersebut memiliki konsepsi tentang desa yang bersifat seragam secara nasional.

Pasal lain yang mengubah konsep desa yang diakui adalah pasal 106 huruf c. Pasal itu menyebutkan bahwa kewenangan desa mencakup kewenangan tugas pembantuan yang diserahkan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

Dalam sistem pemerintahan daerah, tugas pembantuan hanya diberikan kepada daerah otonom, yaitu provinsi dan kabupaten/kota. Memberikan kewenangan tugas pembantuan kepada desa secara tidak langsung memberikan otonomi kepada desa.

Berbagai peraturan lain juga mendukung proses formalisasi dan birokratisasi desa, seperti pengelolaan keuangan yang bersifat accrual basis. Kian kompleksnya pengelolaan keuangan desa, sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, telah mengakibatkan manajemen pemerintahan desa tidak lagi didasarkan pada kekhususan desa. Juga, kewajiban desa membuat sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran yang sangat formal serta terintegrasi dengan rencana dan pembangunan kabupaten/kota telah mengakibatkan formalisasi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Quo Vadis Desa?

Kejelasan konsep pengembangan desa di masa mendatang sangat dibutuhkan untuk pengaturan otonomi desa. Hal tersebut diperlukan buat menjawab tuntutan kepala desa atas 10 persen dana bantuan desa dalam APBN, juga tuntutan perangkat desa agar diangkat menjadi PNS. Tuntutan formalisasi dan birokratisasi itu akan terus berlanjut, mengingat sistem budaya masyarakat Indonesia yang masih menggangap penting status PNS.

Lebih dari itu, krisis ekonomi yang sedang melanda masyarakat saat ini bakal menjadi alasan utama perangkat desa untuk menjadi PNS. Pilihan pemerintah jadi kian sulit karena pengangkatan sekretaris desa akan menimbulkan efek domino, berupa tuntutan serupa oleh perangkat desa lain. Jika tidak dipenuhi, bisa saja hal itu mengakibatkan kekacauan dalam penyelenggaraan desa.

Tuntutan formalisasi dan birokratisasi tersebut harus dijawab dengan kejelasan konsep dan filosofi pengembangan desa. Dalam pandangan saya, secara mendasar otonomi desa harus kembali ditempatkan pada otonomi pengakuan, bukan pemberian.

Ada beberapa alasan atas pilihan itu. Pertama, melakukan birokratisasi dan formalisasi desa bakal mengakibatkan pembengkakan keuangan negara. Jika saat ini terdapat kurang lebih 66.000 desa, bisa dibayangkan biaya yang dibutuhkan untuk memberikan gaji, tunjangan, serta pensiun PNS sekretaris dan perangkat desa. Itu belum termasuk tuntutan pengangkatan kepala desa menjadi PNS. Bagi sistem kepegawaian negara, hal tersebut akan mempersulit perbaikan kualitas PNS.

Kedua, birokratisasi desa bakal menghilangkan kearifan lokal yang telah tumbuh dan berakar dalam masyarakat jauh sebelum republik ini terbentuk. Nilai-nilai kearifan itu jelas merupakan modal sosial dalam pembangunan.
Tuntutan Perangkat Desa Jadi PNS, Masukan untuk RUU Pemerintahan Desa



Rabu, 04 Maret 2009
Tuntutan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) akan menjadi masukan dalam penyusunan RUU tentang Pemerintahan Desa dan revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang saat ini sedang dalam tahap perumusan di Depdagri untuk segera diusulkan ke DPR dalam waktu dekat.

Untuk itu Mendagri minta agar PPDI menyiapkan rumusan yang lebih konkret terkait dengan permasalahan perangkat desa. ”Kalau tuntutan untuk menjadi PNS, saya tidak bisa berjanji, karena hal itu harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Menpan, BKN, dan Menteri Keuangan,” ujar Mardiyanto yang didampingi Sekretaris kementerian Negara PAN Tasdik Kinanto, dan Dirjen PMD, Depdagri, Ayip Muflich, ketika menerima perwakilan PPDI di Kementerian Negara PAN, Rabu (4/3).
Dalam kesempatan itu, Ketua Umum PPDI, Ubaidi Rosyidi mengemukakan agar Pemerintah melakukan revisi terbatas terhadap UU No. 32/2004. Untuk pasal 202 ayat 3, diusulkan agar Sekdes dan perangkat desa lainnya diangkat menjadi PNS, dari sebelumnya berbunyi Sekdes dan perangkat desa diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan.
Diusulkan juga agar perangkat desa juga diberikan pensiun. Selain itu, PPDI juga mengusulkan agar masa jabatan Kepala Desa ditetapkan 10 tahun, dan tidak dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Pada hari Rabu (4/3) PPDI bermaksud melakukan audiensi di Istana Presiden, Gedung DPR, dan Depdagri. Namun, Mendgari yang juga mantan Gubernur Jawa Tengah itu berkenan menerima perwakilan PPDI untuk berdialog di Kementerian Negara PAN. Sementara ribuan anggota PPDI lainnya stand by di Masjid Istiqlal, Jakarta, untuk menunggu instruksi dan hasil dialog tersebut.
Pada awal sambutannya, Mendagri mengungkapkan, terkait dengan pengangkatan Sekdes menjadi PNS, ternyata juga ada sebagian yang protes, terutama dari Desa yang ’bondo’ (kekayaan) desanya besar, sehingga gajinya sebagai PNS dinilai terlalu kecil.
Hal lain, dalam pengangkatan Sekdes juga dipertimbangkan masalah usia. Jangan sampai setahun diangkat lantas pensiun. Bahkan di Temanggung, ujar Mardiyanto, ada seorang mantan Sekdes yang usianya sudah 100 tahun masih sering jalan-jalan ke Kabupaten. Berarti pensiun lebih lama daripada masa bhaktinya. ”Hal seperti ini jangan sampai terjadi,” sergahnya.
Dijelaskan, dalam tahun ini Depdagri sedang melakukan pembahasan revisi UU No. 32/2004, sekaligus mempersiapkan RUU tentang Pemerintahan Desa. ”Dengan demikian, usulan mengenai perangkat desa ini nantinya bisa dimasukkan ke dalam RUU tentang Perangkat Desa,” tambah Mardiyanto. Diharapkan, pembahasan RUU tersebut bisa dituntaskan dalam tahun ini, sebelum masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu habis.
Disadarinya, berdasarkan UU No. 32/2004, APBN hanya berhenti di tingkat Kabupaten/Kota, sehingga untuk Desa tidak ada lagi. Tidak ada APBN yang langsung masuk ke Desa, sehingga kalau ada kepentingan Desa harus masuk ke APBD Kabupaten terlebih dahulu.
Mendagri juga menyinggung perlunya pengaturan yang jelas, siapa saja dan berapa jumlah perangkat desa itu sendiri. Kalau seluruh perangkat desa diangkat menjadi PNS, jumlahnya tentu sangat banyak, karena jumlah desa di Indonesia ada 60 ribu lebih. ”Tolong saya dibantu untuk merumuskannya dalam rangka perbaikan UU No. 32 itu,” ucapnya.
Dalam hal ini, timbul pertanyaan, apakah mereka semua harus menjadi PNS ? Sebab kalau tuntutannya lebih pada peningkatan kesejahteraan, mungkin juga bisa dilakukan dengan cara lain. Misalnya dengan menambah alokasi dana desa (ADD). Bisa juga diambilkan dari kekayaan desa. Sebab banyak desa yang kekayaan desanya masih besar, yang bisa dikelola dengan baik untuk menambah kesejahteraan perangkat desa. ”Jangan dihilangkan,” sergah Mendagri lagi.
Belum lama ini Mendagri juga mengeluarkan peraturan menangani pasar desa, yang kalau dikelola dengan baik bisa menjadi aset bagi desa untuk peningkatan perekonomian desa. Perlu juga dipertimbangkan, kemungkinan pemerintah kabupaten mengalokasikan dana khusus untuk peningkatan kesejahteraan perangkat desa.
Dalam kesempatan itu, beberapa perwakilan perangkat desa, khususnya dari beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah menyampaikan bahwa perangkat desa selain Kades dan Sekdes, jumlahnya antara 6 – 11 orang. Mereka mendapatkan tunjangan mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 1,5 juta per bulan, yang dibagikan per tiga bulan.
Secara umum, perwakilan perangkat desa ini merasa penghasilannya masih jauh dari cukup, dan mereka juga tidak memperoleh fasilitas-fasilitas lain. Padahal, merekalah aparatur negara yang berada di garda paling depan, yang langsung berhadapan dengan masyarakat. (HUMAS MENPAN)


Tasdik Kinanto : Harus Dibahas Komprehensif
Sekretaris Kementerian Negara PAN, Tasdik Kinanto mengatakan, persoalan perangkat desa merupakan masalah mendasar, yang harus diselesaikan secara komprehensif, sehingga tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
”Karena itu, saya berharap jangan diburu-buru, agar kita bisa menyelesaikan itu secara komprehensif. Kita lelah membuat kebijakan yang diburu-buru untuk kepentingan-kepentingan sesaat,” ujar Sekretaris Kementerian Negara PAN, tasdik Kinanto menjawab wartawan usai mendampingi Mendagri Mardiyanto menerima Pengurus Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) di Kementerian Negara PAN, Rabu (4/3).
Dikatakan, mengenai tuntutan perangkat desa yang minta diangkat menjadi PNS, pada prinsipnya Kementerian PAN juga akan memperhatikan, sejauh tuntutan itu bisa direalisasikan.
Namun menurut Tasdik, masalah mendasar mengenai perangkat desa adalah bagaimana sebenarnya konsepsi mengenai pemerintahan desa itu sendiri. Kalau sudah mempunyai konsep yang sama mengenai pemerintahan desa ke depan, termasuk perangkat-perangkat desanya, baru bisa diselesaikan satu per satu. Tentu saja tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI 1945 serta undang-undang lainnya.
Saat ini, berdasarkan UU No. 32/2004, pemerintahan desa merupakan pemerintahan yang otonom, sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masing-masing daerah. Berarti perangkat desa merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten yang berdasarkan undang-undang tersebut bersifat otonom, yang di masing-masing daerah punya karakteristik berbeda satu sama lain. ”Amanat undang-undang dasar ini harus kita perhatikan. Kalau konsep ke depan sudah jelas, soal perangkat desa harus PNS itu, sebenarnya bisa disikapi dengan baik,” tambahnya.
Saat ini, seperti diakui Mendagri Mardiyanto, Undang-undang Pemerintahan Daerah sedang dalam proses revisi, dan rencananya dipecah menjadi UU Pilkada, UU Pemerintahan Desa, serta UU Pemerintahan Daerah itu sendiri. Untuk pembahasan RUU Pemerintahan Desa akan mulai dibahas tanggal 11 Maret mendatang.
Untuk itu, Tasdik Kinanto sependapat dengan Mendagri, agar tuntutan PPDI itu diadopsi sebagai masukan dalam pembahasan RUU Pemerintahan Desa. Sesmen PAN juga sependapat bahwa kesejahteraan perangkat desa perlu ditingkatkan. (HUMAS MENPAN)

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Faham Syiah

Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir
1404 H./Maret 1984 merekomendasikan tentang faham Syi' ah sebagai
berikut :
Faham Syi'ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam
mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus
Sunnah Wal Jamm'ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan
itu diantaranya :
• Syi'ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan
ahlu Sunnah wal Jama'ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu
memenuhi syarat ilmu mustalah hadis.
• Syi’ah memandang "Imam" itu ma 'sum (orang suci), sedangkan Ahlus
Sunnah wal Jama'ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput
dari kekhilafan (kesalahan).
• Syi'ah tidak mengakui Ijma' tanpa adanya "Imam", sedangkan Ahlus
Sunnah wal Jama' ah mengakui Ijma' tanpa mensyaratkan ikut sertanya
"Imam".
• Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/Pemerintahan
(imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah
wal Jama'ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan